Kenapa Seseorang Bisa Alergi Makanan? Ini Penjelasan Dokter

Kenapa Seseorang – Alergi makanan bukan sekadar reaksi aneh tubuh terhadap makanan. Ini adalah kondisi serius yang bisa mengubah hidup seseorang secara drastis. Dari hanya gatal-gatal ringan hingga reaksi mematikan seperti anafilaksis, alergi makanan seharusnya tidak di anggap remeh. Tapi kenapa tubuh bisa sedemikian “berlebihan” terhadap makanan yang bagi orang lain tidak menimbulkan masalah sama sekali?

Reaksi Tubuh yang Meledak-ledak

Alergi makanan terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi secara ekstrem terhadap zat tertentu yang sebenarnya tidak berbahaya. Zat ini di sebut alergen. Ketika seseorang dengan alergi mengonsumsi makanan yang mengandung alergen tersebut, tubuh langsung menganggapnya sebagai ancaman serius. Ini bukan reaksi biasa. Sistem imun seperti pasukan perang yang terlalu siaga—langsung mengaktifkan antibodi IgE (immunoglobulin E) dan memicu pelepasan histamin.

Histamin ini yang menjadi biang keladi dari segala kekacauan: gatal-gatal, pembengkakan, muntah, bahkan sesak napas. Tubuh berpikir sedang melindungi diri, padahal yang di lawan hanyalah protein dari kacang, susu, atau makanan laut.

Baca juga : 7 Makanan Tinggi Protein untuk Bantu Turunkan Berat Badan

Faktor Genetik yang Menentukan Nasib

Jangan salah, alergi makanan bukan hanya soal apa yang di makan. Genetik punya andil besar dalam menentukan apakah seseorang rentan terhadap alergi atau tidak. Menurut para dokter ahli imunologi, jika orang tua memiliki alergi, kemungkinan besar anak juga akan mewarisinya. Ini bukan sekadar kebetulan. Tubuh anak sudah di bentuk untuk lebih waspada, atau lebih tepatnya, overprotektif terhadap zat asing.

Bahkan, bayi yang terlahir dari keluarga tanpa riwayat alergi pun bisa mengembangkan alergi jika lingkungan dan pola makan tidak mendukung. Sistem imun yang seharusnya belajar membedakan mana kawan dan lawan, malah salah mengira protein makanan sebagai musuh besar.

Pencernaan yang Tak Siap Bertarung

Tubuh manusia tidak di rancang untuk bereaksi negatif terhadap makanan—itu fakta. Tapi sistem pencernaan yang belum matang atau terganggu bisa menjadi pemicu. Pada bayi, misalnya, saluran pencernaan mereka belum sepenuhnya siap mencerna protein kompleks. Inilah mengapa pemberian makanan padat terlalu dini bisa memicu reaksi alergi. Usus mereka belum cukup “cerdas” untuk mengenali mana yang berbahaya dan mana yang tidak.

Lebih dari itu, kondisi seperti sindrom usus bocor (leaky gut syndrome) juga di kaitkan dengan meningkatnya kasus alergi makanan. Ketika lapisan pelindung usus rusak, partikel makanan yang belum tercerna sempurna bisa masuk ke aliran darah dan memicu sistem imun untuk bertindak agresif.

Paparan Dini yang Salah Kaprah

Ada anggapan bahwa menunda pemberian makanan pemicu alergi bisa melindungi anak dari reaksi. Tapi ternyata, sains modern mengatakan sebaliknya. Para dokter sekarang mulai menyarankan agar makanan seperti telur, kacang, dan seafood di kenalkan sejak dini, dalam jumlah kecil dan di awasi. Ini adalah cara agar sistem imun “belajar” dan tidak menganggap makanan tersebut sebagai musuh.

Sayangnya, informasi yang tidak akurat membuat banyak orang tua ragu. Mereka menahan pemberian makanan tersebut, dan ketika akhirnya di perkenalkan, sistem imun yang tidak pernah belajar menjadi kalang kabut.

Lingkungan yang Terlalu Steril

Kebersihan memang penting, tapi tubuh manusia juga perlu latihan. Inilah yang menjadi dasar dari hipotesis “hygiene hypothesis”. Terlalu bersih, terlalu steril, justru bisa menyebabkan sistem imun menjadi kurang terlatih. Akibatnya, sistem imun jadi reaktif terhadap hal-hal yang seharusnya tidak memicu bahaya, termasuk makanan.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan paparan mikroorganisme alami lebih cenderung memiliki sistem imun yang toleran. Sebaliknya, mereka yang hidup dalam lingkungan yang terlalu bersih lebih rentan terhadap alergi. Ini adalah ironi yang menampar: niat baik menjaga kebersihan malah menciptakan tubuh yang rentan terhadap hal-hal sepele.

Tak Semua Reaksi Itu Alergi

Satu hal yang sering di salahpahami adalah menyamakan semua reaksi tubuh dengan alergi. Padahal, ada juga intoleransi makanan yang mekanismenya sangat berbeda. Alergi melibatkan sistem imun, sedangkan intoleransi lebih ke ketidakmampuan tubuh mencerna zat tertentu. Misalnya, intoleransi laktosa terjadi karena tubuh kekurangan enzim laktase, bukan karena tubuh menganggap susu sebagai musuh.

Namun, karena gejalanya bisa mirip—perut kembung, mual, atau diare—banyak orang menganggap mereka alergi padahal tidak. Inilah kenapa diagnosis dari dokter sangat penting. Anda butuh tes khusus, seperti tes kulit atau tes darah, untuk memastikan apakah itu alergi sejati atau hanya reaksi sementara.